Cinta
Hakiki
Cinta. Begitu indah dan wangi. Semerbak
wangi kasturi di kebun melati. Begitu bersih. Lebih bersih dari kain putih
cemerlang di tengah dedaunan yang kering di terpa angin yang menggoda dibawah
sinar mentari. Lebih manis dari madu. Lebih lembut dari yogurt. Dan lebih
renyah dari kerupuk. Banyak kata yang tak bisa diungkapkan ketika cinta telah
membumi dalam jiwa. Ketika cinta telah berkata, yang lain pun tak bisa
berirama. Bagai hujan di padang yang tandus. Yang sudah lama tak teterpa hujan.
Begitu terpana hingga tak kuasa membendung diri.
Mungkin lebih banyak yang bisa
diungkapkan tentang satu kata ajaib itu. Namun, apakah seindah itu namanya,
cinta?? Atau lebih indah?? Atau yang lebih mungkin, yang belum pernah
terpikirkan. Cinta memang indah. Cinta bisa memberikan kita segalanya. Cinta
juga bisa merubah segalanya. Ingatkah engkau ketika cinta memberikan energi
baru bagi pemujanya? Ingatkah ketika cinta telah membumi jiwa dan raga.
Memberikan energi positif ke otak dan diteruskan ke seluruh bagian tubuh.
Hingga sel-selnya. Mitokondria seakan memproduksi lebih banyak energi dan darah
lebih cepat mengalirkannya.
Amel. Rizqi Amelia. Itulah namaku. Seorang
mahasiswa semester I di sebuah perguruan tinggi negeri di Indonesia. Surabaya
tepatnya. UNAIR. Membuka lembar demi lembar kamus kedokteran. Pikirannku
melayang pada sesosok yang sekarang jauh dariku. Segera ku sibakkan dengan rasa
sayang. Sambil tersenyum, ku terus membuka lembaran kamus tebal itu.
Mencari-cari apa maksud dari setiap kata-kata aneh yang baru ku temukan tadi.
Sebentar lagi UAS dan aku harus menghafal dan mengerti setiap mata kuliah yang
diajarkan. Tidak sabar menunggu liburan UAS nanti.
Sudah lebih dari tiga bulan yang lalu
saat kedatangannya untuk yang pertama kali. Semua tentu tahu, aku senang bukan
main. Bukankah aku telah menunggu? Entah sudah berapa puluh minggu.
Saat itu, matahari masih enggan tenggalam.
Aku yakin, yakin sekali dia akan datang. Aromanya sudah mampu kucium sudah
sejak dari kejauhan.
Rasanya gelisah, sebentar-sebentar aku
keluar memandang cakrawala. Sebentar-sebentar aku menghirup udara dalam-dalam.
Seakan dengan begitu aku akan tahu dari arah mana dia akan datang. Lalu
lekas-lekas membentangkan kedua lengan, memeluknya seakan kamu adalah kawan
lama yang akan datang bertandang.
Angin semakin girang menerbangkan
daun-daun menguning yang tak lagi dibutuhkan reranting. Debu-debu beterbangan
semakin seru.
Siang yang terik itu, membakar semua
yang menghalangi menyinari bumi. Masih di bawah naungan sianrnya, lelaki itu
menyeka keringat yang mengucur deras di dahinya, dengan baju usang dan mulai
basah oleh keringatnya sendiri.
“Abdul!! Abdul!!”
Panggilan itu sedikit memalingkan lelaki itu dari
keringat di wajahnya. Dengan penasaran, dia mencari sumber suara itu. Menatap
ke semua penjuru. Dengan pandangan yang kurang fokus. Mungkin karena rasa panas
yang masih menderanya. Aku menepuk pundaknya dari belakang.
“Nyari siapa sih??” Tanyaku dengan
lembut. Kedua pipiku segera menarik ujung-ujung bibirku. Tersenyum manis melihatnya.
“Kok lama?” Ucapku kemudian dengan suara lirih dan sedikit nada sedih dan
kecewa.
“Ma’af.. tadi ada urusan sebentar..”
“Udah jamuran tau nggak sih??”
“Jamur mana yang nempel di tubuh gadisku
ini? Sini biar aku cabut..:
“Nggak bakal bisa!”
“Tambah manis kalau ngambek gini..”
Ucapnya merayu.
“iiiiihhh norak..” Jawabku malu-malu.
Tak bisa ku seka senyum yang tiba-tiba menghiasi pipiku.
Abdul adalah seorang mahasiswa di sebuah perguruan
tinggi negri di Bogor. IPB tepatnya. Jauh dari kota asalnya. Sejak SMA, dia
telah bercita-cita untuk melanjutkan studinya disana. Dia sangat ingin masuk perguruan
tinggi tersebut. Hingga dia pun harus merelakan berpisah sejenak dari
orang-orang yang dikasihinya. Orang tua dan juga kekasihnya. Meski terpisah
oleh jarak yang sangat jauh, atapi aku dan Abdul sudah saling mencintai sejak
setahun yang lalu. Oleh karena itulah, aku merelakan Abdul untuk meneruskan perjuangannya
di tempat yang teramat jauh. Meski tak terelakkan. Kadang, rindu menyelimutiku.
Resah dan sesak, ketika menahan rasa rindu itu. Membeku dalam relung batinku.
Dan tersendat di saluran pernafasanku. Ingin keluar dalam butiran air mata,
namun seakan doa dan kepercayaan yang menyekanya agar tak sampai keluar.
Kini,
sedikit rasa rindu kami terobati. Abdul yang kebetulan minggu-minggu ini libur,
memutuskan untuk pulang ke kampug halaman. Kami sepakat untuk bertemu,
mengobati sakit rindu yang telah menjalar di tubuh kami. Menit demi menit.
Hingga berubah jam demi jam. Sungguh tak terasa waktu berputar. Namun suara
adzan-lah yang mengingatkan kami, jika kami harus berpisah sejenak. Kembali ke
rumah masing-masing. Abdul dengan sigap mengawalku dari belakang.
“Tidak mampir dulu?” Ucapku membujuk
agar kami bisa lebih lama lagi.
“Ma’af, Dek.. kapan-kapan, kakak akan ke
rumah. Sekarang sudah malam. Nggak enak sama Bapak Ibu. Juga tetangga.”
“Ini kan baru jam setengah 6 kak..”
“Udah maghrib. Kapan-kapan ya.. Kakak
sayang adek..”
“Ya udah.. ati-ati ya.. Adek sayang
kakak..”
Hari itu pun tiba. Keberangkatan Abdul
ke Bogor. Ia harus belajar kembali. Rentetan doa dan motivasi keluar dari
mulutku. Demi menyemangati kekasihku. Dengan perasaan berbunga-bunga, Abdul
dengan riang melangkahkan kakinya melanjutkan perjuangannya. Hanya bisa ku
iringi dengan senyum sehangat mungkin di stasiun, mengantar keberangkatan orang
tercinta melanjutkan perjuangannya.
“Hati-hati ya..” Pintaku dengan nada
lirih. Hampir tak terdengar.
“Iya.. Santey.. Kan cuma naik kereta.
Bukan makai motor sendiri.”
“Tapi harus tetep ati-ati.. Ati-ati
dalam segala hal.”
“Iya iya.. dasar cerewet..”
“Kog adeknya dibilang cerewet? Katanya
sayang?”
“Kalau cerewet gini, buat kakak tamabah
sayang..” ucap Abdul menggoda.
“iiiihh.. Ngeselin..”
“Tapi tetep sayang kan?” Aku hanya
membalas dengan senyum manja.
“Adek juga ya.. Jaga kesehatan. Jangan
sampai down. Apalagi sakit.” Ucapnya kemudian.
“Oke sayang.. hehehe”
Belaian angin di stasiun itu mengantarkan kepergian
Abdul kembali meneruskan studynya. Dengan mata memerah, aku melepaskan orang
terkasih melanjutkan perjuangannya. Tapi sengaja, tak ku perlihatkan
kesedihannya. Aku takut, Abdul akan merasa berat meninggalkanku. Dan
konsentrasi belajarnya akan terganggu. Tetesan air hujan mulai menyelimuti
trotoar stasiun, juga membasahi pipiku. Beradu dengan air mataku, ketika kereta
mulai berjalan seirama dengan nada tetes-tetes air hujan yang jatuh ke bumi.
“Selamat jalan kasihku. Pulanglah dengan
berjuta kebanggaan atasmu. Aku akan selalu menyayangimu.”
Hari berganti hari. Hingga tak terasa 2
bulan sejak kepergian Abdul terlewati. Kami mulai berkutat dengan kesibukan
masing-masing. Satu bulan lagi, kami harus menghadapi UTS genap. Banyak hal yang tak bisa
kutinggalkan. Maka kutulis surat untuknya. Sengaja ku mengirim lewat surat.
Sudah 1 minggu nomernya tak aktif. Aku hanya ingin menumpahkan segala rindu,
mengemis kabarnya hanya untuk sekedar tahu bahwa ia baik-baik saja. Kubaca lagi
dan lagi suratku untuknya. Aku tak ingin ada sedikit pun kesalahan penulisan,
hingga dia salah mengartikan.
Sebulan kemudian aku menerima surat balasan darinya.
Gembiraku meletup-letup hanya dengan menyentuh ujung amlopnya.Amlop berwarna
putih polos, tanpa ada motif bunga.
Untuk gadisku,
Begitu yang tertulis di awal surat. Pipiku bersemu
merah. Aku sangat akrab dengan panggilan itu, gadisku.
Suratmu sudah
kuterima. Aku baik-baik saja.
Kekhawatiranku yang terbendung beberapa lama terasa
ambrol, meluber kemana-mana. Hatiku lega bukan main.
Maafkan aku. Aku
tak memberi kabar padamu, maafkan aku.
Kalimat keduanya membuatku tak bisa berkata-kata.
Kemarahanku, kekecewaanku sirna seketika.
Aku juga
merindukanmu. Sangat rindu. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.
Sampai di sini, aku mulai merasakan kekhawatiranku
datang kembali. Hati-hati aku membaca coretan tangannya yang tak begitu rapi.
Hubungan ini tak
disyari’atkan oleh agama. Sebelum kita berbuat terlalu jauh, sebelum semakin
menumpuk dosa ini pada kita, apa nggak sebaiknya kita akhiri semua ini? Sudah
ku pikirkan ini sebelumya.
Dadaku mulai diresapi resah. Sesak tak hanya
meresapi dadaku, tapi terang-terangan menceburkanku ke dalam air keruh yang
membuatku sulit untuk bernafas. Mataku memerah menahan marah. Darahku mendidih,
wajahku panas bagai disambit cemeti berapi.
Aku sudah tak ingin membaca
suratnya.Tak mampu membendung sesak yang serta merta menenggelamkanku dalam
kekecewaan, rasa sakit.
Masih ada beberapa kalimat yang
belum kubaca, tapi kuputuskan untuk sudah. Menyudahinya. Aku kesulitan
memecahkan rasa sesak dalam sebuah tangis. Air mata yang biasanya begitu mudah
untuk dilelehkan, saat itu justru terasa membeku. Menjadi butiran-butiran batu,
lalu memenuhi seluruh mataku, dadaku. Tak terkendali.
Dengan mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang kupunya,
aku melanjutkan membaca suratnya.
Maafkan aku.
Tapi semua ini harus berakhir, aku tahu, ini terlalu sulit untuk kita. Tapi
dosa ini akan menceburkan kita ke tempat yang lebih sulit lagi.
Kepalaku terasa dihantam godam, lalu pecah
berkeping-keping. Bagaimana mungkin ia menuliskan itu padaku? Padahal sebelumnya,
hubungan kami baik-baik saja?
Aku mencintaimu.
Tapi aku ingin cinta ini suci. Dengan ridho dari Sang Kuasa. Aku ingin, apapun
yang kita lakukan dan kita rasakan bernilai pahala. Gapailah cita-citamu. Aku
akan selalu bangga padamu. Terima kasih, kau telah memberikan warna yang
berbeda dalam hidupku. Jika kita memang berjodoh, kita akan kembali berjumpa.
Aku seperti terdampar ke lembah putus cinta, lalu
hampir seluruh tubuhku terhujam duri-duri bunga cinta, setiap kali aku
memikirkannya, bukan hanya hatiku yang sakit. Luka dari hujaman duri-duri bunga
itu pun ikut mengoyak tubuhku. Jantungku berkeping. Aku bahkan tak mampu hanya
untuk duduk. Meminum seteguk air. Kata sakit tak mampu menggambarkan apa yang
kurasakan saat itu. Sakit sesakit sakitnya sakit. Pedih. otakku berkabut, pandanganku kosong.
Pun otakku tak mengerti lagi mesti berbuat apa. Segalanya kosong.
“Tuhan… Dekap
aku dalam rasa sayang-Mu… Karena rasa itulah rasa sayang yang kekal. Dekatkan
aku pada orang-orang pilihan-Mu. Aku tahu, pilihan-Mu adalah segala yang
terbaik untukku. Jika kak Abdul adalah orang yang terbaik untukku. Jika ia
adalah orang pilihan-Mu yang Kau pilih menjadi pemimpin dan pembimbing di dunia
cintaku hingga akhir akhiratku, maka jagalah hati ini untuknya. Kuatkan imanku
ketika aku merinduinya. Tuhan… Hanya kepada-Mu aku berlindung. Hanya kepada-Mu
aku meminta. Hanya kepada-Mu aku memohon kasih sayang. Hanya kepadamu aku
berserah diri. Hanya kepada-Mu aku mengharap cinta. Cinta yang hakiki. Cinta
yang abadi. Cinta yang maha dahsyat. Cinta yang tertinggi”.
Aku
tak mendengar kabar apapun darinya. Wisudah, sampai apapun tentangnya. Kini
hanya harap yang menjadi pendamping cintaku yang masih tumbuh subur dalam batin
yang sesak merasa ketakutan.
Menit
menghimpun detik. Hari berganti hari. Detak jantung berdetak dalam kesendirian.
Tanpa terasa, telah ku arungi kehidupanku selama 3 tahun lebih tanpa adanya dia
disisiku. Sunyi, sepi, sendiri. Seiring berjalannya waktu, sedikit ku lupakan
kisahku 3 tahun lalu. Sekarang ku jalani hari-hariku bersama kehidupanku.
Sedikit ku singkirkan kenangan itu. Tapi tetap, dia selalu terngiang di
kepalaku, seakan doanya tak henti-hentinya bersenandung di hatiku berharap kita
berjumpa kembali.
Dua
bulan berlalu diriku berkutat di depan laptop yang selalu menemaniku mengisi
hari-hariku. Ku rajut setiap kata untuk menyelesaikan tugas akhirku. Kurang
beberapa hari deadline final tugas akhir harus diselesaikan. Ku buka lembar
demi lembar hasil penelitianku selama ini. Penat sekali pikiranku ini.
Tuhan,
tahukah dia bahwa diriku merinduinya? Banyak hal ku lakukan untuk sedikit
mengurangi kerinduanku padanya. Namun semua itu seakan sirna jika lamunanku
selalu tertuju padanya. Entah apa yang membuatku merasa bahwa dia masih
menungguku, menunggu detik saat dia memintakanku kepada waliku.
Penat
rasanya.
Namun,
harus aku selesaikan tugas akhir ini. Harus tetap aku kerjakan. Kembali ku
tekan tombol-tombol di laptopku untuk menambah halaman demi halaman.
Akhirnya,
selesai sudah himpunan halaman tugas akhir yang selama ini ku kerjakan untuk
segera menyandang Sarjana Kedokteran yang selama ini aku harapkan.
Hari
ini, dimana menjadi salah satu hari yang menentukan dalam hidupku. Hari
pengujian tugas akhirku dan hari yang penuh dengan ketegangan. Hari ini, aku
inginkan dia kembali hadir dalam sidangku. Ku lirik hpku, ku harapkan ada satu
pesan atas nama Abdullah Andy Alamsyah memberiku semangat agar aku mampu
menghadapi sidangku. Hpku tetap tak berdering.
Langkah
demi langkah ku ayunkan memasuki saksi bisu pengujian tugas akhirku. Ketegangan
aku mulai. Komat-kamit mulutku terus berdoa. Teman-teman yang ada bersamaku
selama ini senantiasa menunggu kabarku dengan harap cemas di luar.
Dua
jam telah berlalu, nafas lega menghinggapi wajahku yang selama ini terlihat
sayu menandakan ketegangan sudah mulai berkurang. Hilang, malah. Senyuman indah
mengembang di wajahku. Dengan wajah
bahagia ku temui teman-temanku yang selama ini menunggu dan berdoa untuk
kesuksesan ujian tugas akhirku.
Hari
bahagia ada di depanku. Detik-detik wisuda pengukuhan kelulusan kuliah yang
selama ini aku jalani dan aku nikmati. Bapak dan ibu hadir dalam hari besarku
ini. Tapi, ada seseorang yang juga aku harapkan hadir dalam hari kebanggaan dan
dalam hari-hariku selanjutnya. Abdul, sekali lagi, ia tidak hadir dalam
pandanganku, meskipun sangat aku harapkan.
Acara
wisuda pun dimulai. Satu persatu nama mahasiswa Kedokteran pun di panggil. Tiba
giliranku. Aku maju dengan perasaan bahagia, bangga, dan penuh syukur. Ku tatap
semua undangan secara keseluruhan. Hingga aku menemukan wanita paruh baya
dengan garis guratan di keningnya pertanda dimakan usia. Juga seorang lelaki di
sebelahnya, memakai peci hitamnya. Mereka tersenyum kepadaku. Ada rasa haru dan
bangga yang terungkap dari sayu senyum mereka. Buliran air suci jatuh di atas
kedua pipiku. Seakan ingin menjerit,
“Ibu! Bapak! Ku buktikan, kalian tak menyesal mempunyai anak sepertiku!
Aku bangga menjadi anak kalian. Menjadi serpihan kecil dalam mengisi relung
hari kalian. Kalian-lah yang menjadikan aku ada di depan kalian memakai baju
sarjana, menyandang gelar Sarjana Kedokteran. Terima kasih Duhai lentera
hatiku, Guru kecil hingga dewasaku, Ibu-Bapakku.” Namun tak ku temukan sesosok
wajah yang ku harapkan, Abdul. Dengan senyumnya. Pasti ia bangga denganku. Tapi
sayang, itu hanya sebuah harapan semu tak berujung.
Setelah
prosesi wisuda selesai, ku segera berlari menghampiri Ibu-Bapakku. Ku ingin
memeluk mereka, ku ingin mengungkapkan rasa bangga menjadi anak mereka. Air mata
bercucuran saat ku merangkul mereka. Tak bisa bicara, hanya sengukan dan
pelukan yang bisa kami berikan.
Kami
pun berjalan keluar gedung wisuda saat kami puas menangis haru. Hingga Bapak
memulai percakapan.
“Nak,
kamu telah dewasa. Kamu juga sudah bisa menyandang gelar Sarjana Kedokteran.
Apa tidak secepatnya kamu memikirkan kelangsungan hidupmu?”
“Maksud
Bapak?”
“Apa
kamu sudah memilah dan memilih, siapa yang akan jadi pendampingmu kelak?”
“Kenapa
Bapak tiba-tiba membicarakan ini?”
“Bapak
dan Ibumu sudah tua. Bapak dan Ibu ingin melihatmu bersanding dengan seorang
pria yang akan jadi pendampingmu kelak. Yang akan melindungi dan membimbingmu.”
“Bapak
pilihkan saja untukku. Aku percaya sepenuhnya pada Bapak dan Ibu.”
“Apa
kau sudah melupakan perasaanmu pada temanmu dulu?”
“Entahlah,
Pak. Namun jika Bapak dan Ibu berkenan aku dengan lelaki yang lain, akan aku
terima semua itu. Aku yakin Ibu dan Bapak akan memilihkan yang terbaik
untukku.”
“Ada
seseorang yang telah melamarmu. Dia ada di luar. Bapak suruh dia menunggumu di
luar.”
“Kenapa
Bapak tidak menyuruhnya masuk? Melihat proses wisudaku? Aku yakin, dia juga
akan senang dan bangga kepadaku.”
“Bapak
ingin melihat, apakah dia benar-benar ingin mempersuntingmu? Apakah dia bisa
bersabar di luar menunggumu?”
Dalam
hatiku, masih ku harapkan Abdul menjadi
pendamping dalam hidupku. Tapi kembali ku teringat waktu yang aku lalui
tanpanya, mungkinkah dia kembali kepadaku dan memintakanku kepada waliku??
Akankah semua itu jadi harapan semu? Yang tak berujung?
Ku
langkahkan kakiku meskipun dengan perasaan enggan, namun ada sedikit rasa
penasaran. Siapakah gerangan dirinya?
Apakah
aku mengenalnya?
Apakah
dia benar-benar ingin menjalin ikatan suci bersamaku meskipun kita tidak saling
kenal?
“Apa
salahnya ku coba berkenalan?” Gumamku dalam hati. Jantungku berdetak kencang
melewati detik-detik saat ku jumpa dengan pria yang ingin mengenalku lebih
jauh. Tubuhnya membelakangiku. Aku menerkanya. Tegap tubuhnya tak asing bagiku.
Namun saat dia berbalik menghadapku, aku benar-benar tak percaya, jantungku
seakan berhenti berdetak.
Tenyata
bapak dan ibuku ingin mengenalkanku pada seseorang yang sangat aku harapkan
hadir dalam hidupku. Dia yang ada didepanku, dia, Abdullah Andy Alamsyah yang
selama ini aku harapkan. Dia datang padaku dengan restu dari bapakku dan dengan
sebuah lamaran yang sudah bapak terima. Ku tatap Kak Abdul penuh seksama,
apakah benar-benar dia? Aku masih tak percaya siapa yang ada di hadapanku ini. Seikat
bunga mawar merah dia berikan kepadaku dan dia mengucapkan “Selamat ya, duhai
gadisku tersayang”.
Bapak
dan ibu hanya tersenyum kepadaku, mereka dapat merasakan kebahagiaan yang
sangat besar yang sedang aku alami. Keduanya memelukku dengan penuh kasih
sayang. Hanya tetesan demi tetesan yang aku suguhkan pada mereka. Tanpa bisa berkata
apapun. Syukur aku panjatkan dalam isak tangisku. Kak Abdul masih tersenyum
penuh kebahagiaan.
Tiga
hari sebelum wisudaku, kak Abdul datang menemui bapakku, Menanyakan kabarku.
Saat itu aku tidak ada dirumah. Untunglah bapak masih mengenali sosok yang ada
didepannya. Sedikit basa-basi memperkenalkan dirinya ke bapak, Abdul meminta diriku
menjadi pendamping hidupnya selamanya. Bapak dan ibu tahu, diriku masih
menyimpan perasaan pada sosok pria yang sangat penting dalam hidupku. Bapak
hanya memberi satu syarat jika memang dia sangat ingin meminang anaknya.
“Jika
kau masih bisa bersabar menunggunya, maka datanglah ke wisudanya dan tunggulah
dia di luar. Di sanalah akan ku pertemukan kau dengan dia. Bapak harap, kamu
bisa memenuhinya.”
“Jika
itu persyaratan dari Bapak, kan ku penuhi semua itu. Aku akan bersabar menunggu
hingga akhir acara wisudanya.”
Kepada
malam yang tak pernah enggan menemaniku
Kepada
gelapnya yang hangat mendekapku
Kepada
angin malam yang membasuh pilu mukaku
Kepada
nyanyian malam yang temaniku terjaga
Burung
malam bercanda di atas anyaman sarang
Desahan
rumput dengan tarian manja
Air
gemericik
Ikan
pun berlari
Mereka
seakan ingin membantuku
Mengungkapkan
isi hatiku
Sungguh…
Aku
ingin mencintaimu
Layaknya
cinta Fatimah pada Ali
Layaknya
cinta Ruqoyyah pada Ustman
Aku
ingin cinta ini karena Allah
Aku
tak ingin cinta yang lebih dari itu
Aku
ingin cinta yang hakiki
Aku
ingin cinta ini terjalin di atas hukum Islam
Aku
ingin cinta di atas syari'at Islam
Menjadikan
engkau sebagai pemimpin
Menjadikan
engkau sebagai pembimbing
Dalam
dunia cintaku
Hingga
akhir akhiratku
|