Sabtu, 03 November 2012

Cinta Dy


Cinta Hakiki
Cinta. Begitu indah dan wangi. Semerbak wangi kasturi di kebun melati. Begitu bersih. Lebih bersih dari kain putih cemerlang di tengah dedaunan yang kering di terpa angin yang menggoda dibawah sinar mentari. Lebih manis dari madu. Lebih lembut dari yogurt. Dan lebih renyah dari kerupuk. Banyak kata yang tak bisa diungkapkan ketika cinta telah membumi dalam jiwa. Ketika cinta telah berkata, yang lain pun tak bisa berirama. Bagai hujan di padang yang tandus. Yang sudah lama tak teterpa hujan. Begitu terpana hingga tak kuasa membendung diri.
Mungkin lebih banyak yang bisa diungkapkan tentang satu kata ajaib itu. Namun, apakah seindah itu namanya, cinta?? Atau lebih indah?? Atau yang lebih mungkin, yang belum pernah terpikirkan. Cinta memang indah. Cinta bisa memberikan kita segalanya. Cinta juga bisa merubah segalanya. Ingatkah engkau ketika cinta memberikan energi baru bagi pemujanya? Ingatkah ketika cinta telah membumi jiwa dan raga. Memberikan energi positif ke otak dan diteruskan ke seluruh bagian tubuh. Hingga sel-selnya. Mitokondria seakan memproduksi lebih banyak energi dan darah lebih cepat mengalirkannya.
Amel. Rizqi Amelia. Itulah namaku. Seorang mahasiswa semester I di sebuah perguruan tinggi negeri di Indonesia. Surabaya tepatnya. UNAIR. Membuka lembar demi lembar kamus kedokteran. Pikirannku melayang pada sesosok yang sekarang jauh dariku. Segera ku sibakkan dengan rasa sayang. Sambil tersenyum, ku terus membuka lembaran kamus tebal itu. Mencari-cari apa maksud dari setiap kata-kata aneh yang baru ku temukan tadi. Sebentar lagi UAS dan aku harus menghafal dan mengerti setiap mata kuliah yang diajarkan. Tidak sabar menunggu liburan UAS nanti.
 

Sudah lebih dari tiga bulan yang lalu saat kedatangannya untuk yang pertama kali. Semua tentu tahu, aku senang bukan main. Bukankah aku telah menunggu? Entah sudah berapa puluh minggu.
Saat itu, matahari masih enggan tenggalam. Aku yakin, yakin sekali dia akan datang. Aromanya sudah mampu kucium sudah sejak dari kejauhan.
Rasanya gelisah, sebentar-sebentar aku keluar memandang cakrawala. Sebentar-sebentar aku menghirup udara dalam-dalam. Seakan dengan begitu aku akan tahu dari arah mana dia akan datang. Lalu lekas-lekas membentangkan kedua lengan, memeluknya seakan kamu adalah kawan lama yang akan datang bertandang.
Angin semakin girang menerbangkan daun-daun menguning yang tak lagi dibutuhkan reranting. Debu-debu beterbangan semakin seru.
Siang yang terik itu, membakar semua yang menghalangi menyinari bumi. Masih di bawah naungan sianrnya, lelaki itu menyeka keringat yang mengucur deras di dahinya, dengan baju usang dan mulai basah oleh keringatnya sendiri.
“Abdul!! Abdul!!”
Panggilan itu sedikit memalingkan lelaki itu dari keringat di wajahnya. Dengan penasaran, dia mencari sumber suara itu. Menatap ke semua penjuru. Dengan pandangan yang kurang fokus. Mungkin karena rasa panas yang masih menderanya. Aku menepuk pundaknya dari belakang.
“Nyari siapa sih??” Tanyaku dengan lembut. Kedua pipiku segera menarik ujung-ujung bibirku. Tersenyum manis melihatnya. “Kok lama?” Ucapku kemudian dengan suara lirih dan sedikit nada sedih dan kecewa.
“Ma’af.. tadi ada urusan sebentar..”
“Udah jamuran tau nggak sih??”
“Jamur mana yang nempel di tubuh gadisku ini? Sini biar aku cabut..:
“Nggak bakal bisa!”
“Tambah manis kalau ngambek gini..” Ucapnya merayu.
“iiiiihhh norak..” Jawabku malu-malu. Tak bisa ku seka senyum yang tiba-tiba menghiasi pipiku.
Abdul adalah seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negri di Bogor. IPB tepatnya. Jauh dari kota asalnya. Sejak SMA, dia telah bercita-cita untuk melanjutkan studinya disana. Dia sangat ingin masuk perguruan tinggi tersebut. Hingga dia pun harus merelakan berpisah sejenak dari orang-orang yang dikasihinya. Orang tua dan juga kekasihnya. Meski terpisah oleh jarak yang sangat jauh, atapi aku dan Abdul sudah saling mencintai sejak setahun yang lalu. Oleh karena itulah, aku merelakan Abdul untuk meneruskan perjuangannya di tempat yang teramat jauh. Meski tak terelakkan. Kadang, rindu menyelimutiku. Resah dan sesak, ketika menahan rasa rindu itu. Membeku dalam relung batinku. Dan tersendat di saluran pernafasanku. Ingin keluar dalam butiran air mata, namun seakan doa dan kepercayaan yang menyekanya agar tak sampai keluar.
            Kini, sedikit rasa rindu kami terobati. Abdul yang kebetulan minggu-minggu ini libur, memutuskan untuk pulang ke kampug halaman. Kami sepakat untuk bertemu, mengobati sakit rindu yang telah menjalar di tubuh kami. Menit demi menit. Hingga berubah jam demi jam. Sungguh tak terasa waktu berputar. Namun suara adzan-lah yang mengingatkan kami, jika kami harus berpisah sejenak. Kembali ke rumah masing-masing. Abdul dengan sigap mengawalku dari belakang.
“Tidak mampir dulu?” Ucapku membujuk agar kami bisa lebih lama lagi.
“Ma’af, Dek.. kapan-kapan, kakak akan ke rumah. Sekarang sudah malam. Nggak enak sama Bapak Ibu. Juga tetangga.”
“Ini kan baru jam setengah 6 kak..”
“Udah maghrib. Kapan-kapan ya.. Kakak sayang adek..”
“Ya udah.. ati-ati ya.. Adek sayang kakak..”
 

Hari itu pun tiba. Keberangkatan Abdul ke Bogor. Ia harus belajar kembali. Rentetan doa dan motivasi keluar dari mulutku. Demi menyemangati kekasihku. Dengan perasaan berbunga-bunga, Abdul dengan riang melangkahkan kakinya melanjutkan perjuangannya. Hanya bisa ku iringi dengan senyum sehangat mungkin di stasiun, mengantar keberangkatan orang tercinta melanjutkan perjuangannya.
“Hati-hati ya..” Pintaku dengan nada lirih. Hampir tak terdengar.
“Iya.. Santey.. Kan cuma naik kereta. Bukan makai motor sendiri.”
“Tapi harus tetep ati-ati.. Ati-ati dalam segala hal.”
“Iya iya.. dasar cerewet..”
“Kog adeknya dibilang cerewet? Katanya sayang?”
“Kalau cerewet gini, buat kakak tamabah sayang..” ucap Abdul menggoda.
“iiiihh.. Ngeselin..”
“Tapi tetep sayang kan?” Aku hanya membalas dengan senyum manja.
“Adek juga ya.. Jaga kesehatan. Jangan sampai down. Apalagi sakit.” Ucapnya kemudian.
“Oke sayang.. hehehe”
Belaian angin di stasiun itu mengantarkan kepergian Abdul kembali meneruskan studynya. Dengan mata memerah, aku melepaskan orang terkasih melanjutkan perjuangannya. Tapi sengaja, tak ku perlihatkan kesedihannya. Aku takut, Abdul akan merasa berat meninggalkanku. Dan konsentrasi belajarnya akan terganggu. Tetesan air hujan mulai menyelimuti trotoar stasiun, juga membasahi pipiku. Beradu dengan air mataku, ketika kereta mulai berjalan seirama dengan nada tetes-tetes air hujan yang jatuh ke bumi.
“Selamat jalan kasihku. Pulanglah dengan berjuta kebanggaan atasmu. Aku akan selalu menyayangimu.”
Hari berganti hari. Hingga tak terasa 2 bulan sejak kepergian Abdul terlewati. Kami mulai berkutat dengan kesibukan masing-masing. Satu bulan lagi, kami harus menghadapi UTS genap. Banyak hal yang tak bisa kutinggalkan. Maka kutulis surat untuknya. Sengaja ku mengirim lewat surat. Sudah 1 minggu nomernya tak aktif. Aku hanya ingin menumpahkan segala rindu, mengemis kabarnya hanya untuk sekedar tahu bahwa ia baik-baik saja. Kubaca lagi dan lagi suratku untuknya. Aku tak ingin ada sedikit pun kesalahan penulisan, hingga dia salah mengartikan.
Sebulan kemudian aku menerima surat balasan darinya. Gembiraku meletup-letup hanya dengan menyentuh ujung amlopnya.Amlop berwarna putih polos, tanpa ada motif bunga.
Untuk gadisku,
Begitu yang tertulis di awal surat. Pipiku bersemu merah. Aku sangat akrab dengan panggilan itu, gadisku.
Suratmu sudah kuterima. Aku baik-baik saja.
Kekhawatiranku yang terbendung beberapa lama terasa ambrol, meluber kemana-mana. Hatiku lega bukan main.
Maafkan aku. Aku tak memberi kabar padamu, maafkan aku.
Kalimat keduanya membuatku tak bisa berkata-kata. Kemarahanku, kekecewaanku sirna seketika.
Aku juga merindukanmu. Sangat rindu. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.
Sampai di sini, aku mulai merasakan kekhawatiranku datang kembali. Hati-hati aku membaca coretan tangannya yang tak begitu rapi.
Hubungan ini tak disyari’atkan oleh agama. Sebelum kita berbuat terlalu jauh, sebelum semakin menumpuk dosa ini pada kita, apa nggak sebaiknya kita akhiri semua ini? Sudah ku pikirkan ini sebelumya.
Dadaku mulai diresapi resah. Sesak tak hanya meresapi dadaku, tapi terang-terangan menceburkanku ke dalam air keruh yang membuatku sulit untuk bernafas. Mataku memerah menahan marah. Darahku mendidih, wajahku panas bagai disambit cemeti berapi.
Aku sudah tak ingin membaca suratnya.Tak mampu membendung sesak yang serta merta menenggelamkanku dalam kekecewaan, rasa sakit.
Masih ada beberapa kalimat yang belum kubaca, tapi kuputuskan untuk sudah. Menyudahinya. Aku kesulitan memecahkan rasa sesak dalam sebuah tangis. Air mata yang biasanya begitu mudah untuk dilelehkan, saat itu justru terasa membeku. Menjadi butiran-butiran batu, lalu memenuhi seluruh mataku, dadaku. Tak terkendali.
Dengan mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang kupunya, aku melanjutkan membaca suratnya.
Maafkan aku. Tapi semua ini harus berakhir, aku tahu, ini terlalu sulit untuk kita. Tapi dosa ini akan menceburkan kita ke tempat yang lebih sulit lagi.
Kepalaku terasa dihantam godam, lalu pecah berkeping-keping. Bagaimana mungkin ia menuliskan itu padaku? Padahal sebelumnya, hubungan kami baik-baik saja?
Aku mencintaimu. Tapi aku ingin cinta ini suci. Dengan ridho dari Sang Kuasa. Aku ingin, apapun yang kita lakukan dan kita rasakan bernilai pahala. Gapailah cita-citamu. Aku akan selalu bangga padamu. Terima kasih, kau telah memberikan warna yang berbeda dalam hidupku. Jika kita memang berjodoh, kita akan kembali berjumpa.
Aku seperti terdampar ke lembah putus cinta, lalu hampir seluruh tubuhku terhujam duri-duri bunga cinta, setiap kali aku memikirkannya, bukan hanya hatiku yang sakit. Luka dari hujaman duri-duri bunga itu pun ikut mengoyak tubuhku. Jantungku berkeping. Aku bahkan tak mampu hanya untuk duduk. Meminum seteguk air. Kata sakit tak mampu menggambarkan apa yang kurasakan saat itu. Sakit sesakit sakitnya sakit. Pedih. otakku berkabut, pandanganku kosong. Pun otakku tak mengerti lagi mesti berbuat apa. Segalanya kosong.
“Tuhan… Dekap aku dalam rasa sayang-Mu… Karena rasa itulah rasa sayang yang kekal. Dekatkan aku pada orang-orang pilihan-Mu. Aku tahu, pilihan-Mu adalah segala yang terbaik untukku. Jika kak Abdul adalah orang yang terbaik untukku. Jika ia adalah orang pilihan-Mu yang Kau pilih menjadi pemimpin dan pembimbing di dunia cintaku hingga akhir akhiratku, maka jagalah hati ini untuknya. Kuatkan imanku ketika aku merinduinya. Tuhan… Hanya kepada-Mu aku berlindung. Hanya kepada-Mu aku meminta. Hanya kepada-Mu aku memohon kasih sayang. Hanya kepadamu aku berserah diri. Hanya kepada-Mu aku mengharap cinta. Cinta yang hakiki. Cinta yang abadi. Cinta yang maha dahsyat. Cinta yang tertinggi”.


Aku tak mendengar kabar apapun darinya. Wisudah, sampai apapun tentangnya. Kini hanya harap yang menjadi pendamping cintaku yang masih tumbuh subur dalam batin yang sesak merasa ketakutan.

Menit menghimpun detik. Hari berganti hari. Detak jantung berdetak dalam kesendirian. Tanpa terasa, telah ku arungi kehidupanku selama 3 tahun lebih tanpa adanya dia disisiku. Sunyi, sepi, sendiri. Seiring berjalannya waktu, sedikit ku lupakan kisahku 3 tahun lalu. Sekarang ku jalani hari-hariku bersama kehidupanku. Sedikit ku singkirkan kenangan itu. Tapi tetap, dia selalu terngiang di kepalaku, seakan doanya tak henti-hentinya bersenandung di hatiku berharap kita berjumpa kembali.
Dua bulan berlalu diriku berkutat di depan laptop yang selalu menemaniku mengisi hari-hariku. Ku rajut setiap kata untuk menyelesaikan tugas akhirku. Kurang beberapa hari deadline final tugas akhir harus diselesaikan. Ku buka lembar demi lembar hasil penelitianku selama ini. Penat sekali pikiranku ini.
Tuhan, tahukah dia bahwa diriku merinduinya? Banyak hal ku lakukan untuk sedikit mengurangi kerinduanku padanya. Namun semua itu seakan sirna jika lamunanku selalu tertuju padanya. Entah apa yang membuatku merasa bahwa dia masih menungguku, menunggu detik saat dia memintakanku kepada waliku.
Penat rasanya.
Namun, harus aku selesaikan tugas akhir ini. Harus tetap aku kerjakan. Kembali ku tekan tombol-tombol di laptopku untuk menambah halaman demi halaman.
Akhirnya, selesai sudah himpunan halaman tugas akhir yang selama ini ku kerjakan untuk segera menyandang Sarjana Kedokteran yang selama ini aku harapkan.


Hari ini, dimana menjadi salah satu hari yang menentukan dalam hidupku. Hari pengujian tugas akhirku dan hari yang penuh dengan ketegangan. Hari ini, aku inginkan dia kembali hadir dalam sidangku. Ku lirik hpku, ku harapkan ada satu pesan atas nama Abdullah Andy Alamsyah memberiku semangat agar aku mampu menghadapi sidangku. Hpku tetap tak berdering.
Langkah demi langkah ku ayunkan memasuki saksi bisu pengujian tugas akhirku. Ketegangan aku mulai. Komat-kamit mulutku terus berdoa. Teman-teman yang ada bersamaku selama ini senantiasa menunggu kabarku dengan harap cemas di luar.
Dua jam telah berlalu, nafas lega menghinggapi wajahku yang selama ini terlihat sayu menandakan ketegangan sudah mulai berkurang. Hilang, malah. Senyuman indah mengembang di wajahku.  Dengan wajah bahagia ku temui teman-temanku yang selama ini menunggu dan berdoa untuk kesuksesan ujian tugas akhirku.


Hari bahagia ada di depanku. Detik-detik wisuda pengukuhan kelulusan kuliah yang selama ini aku jalani dan aku nikmati. Bapak dan ibu hadir dalam hari besarku ini. Tapi, ada seseorang yang juga aku harapkan hadir dalam hari kebanggaan dan dalam hari-hariku selanjutnya. Abdul, sekali lagi, ia tidak hadir dalam pandanganku, meskipun sangat aku harapkan.
Acara wisuda pun dimulai. Satu persatu nama mahasiswa Kedokteran pun di panggil. Tiba giliranku. Aku maju dengan perasaan bahagia, bangga, dan penuh syukur. Ku tatap semua undangan secara keseluruhan. Hingga aku menemukan wanita paruh baya dengan garis guratan di keningnya pertanda dimakan usia. Juga seorang lelaki di sebelahnya, memakai peci hitamnya. Mereka tersenyum kepadaku. Ada rasa haru dan bangga yang terungkap dari sayu senyum mereka. Buliran air suci jatuh di atas kedua pipiku. Seakan ingin menjerit,  “Ibu! Bapak! Ku buktikan, kalian tak menyesal mempunyai anak sepertiku! Aku bangga menjadi anak kalian. Menjadi serpihan kecil dalam mengisi relung hari kalian. Kalian-lah yang menjadikan aku ada di depan kalian memakai baju sarjana, menyandang gelar Sarjana Kedokteran. Terima kasih Duhai lentera hatiku, Guru kecil hingga dewasaku, Ibu-Bapakku.” Namun tak ku temukan sesosok wajah yang ku harapkan, Abdul. Dengan senyumnya. Pasti ia bangga denganku. Tapi sayang, itu hanya sebuah harapan semu tak berujung.
Setelah prosesi wisuda selesai, ku segera berlari menghampiri Ibu-Bapakku. Ku ingin memeluk mereka, ku ingin mengungkapkan rasa bangga menjadi anak mereka. Air mata bercucuran saat ku merangkul mereka. Tak bisa bicara, hanya sengukan dan pelukan yang bisa kami berikan.
Kami pun berjalan keluar gedung wisuda saat kami puas menangis haru. Hingga Bapak memulai percakapan.
“Nak, kamu telah dewasa. Kamu juga sudah bisa menyandang gelar Sarjana Kedokteran. Apa tidak secepatnya kamu memikirkan kelangsungan hidupmu?”
“Maksud Bapak?”
“Apa kamu sudah memilah dan memilih, siapa yang akan jadi pendampingmu kelak?”
“Kenapa Bapak tiba-tiba membicarakan ini?”
“Bapak dan Ibumu sudah tua. Bapak dan Ibu ingin melihatmu bersanding dengan seorang pria yang akan jadi pendampingmu kelak. Yang akan melindungi dan membimbingmu.”
“Bapak pilihkan saja untukku. Aku percaya sepenuhnya pada Bapak dan Ibu.”
“Apa kau sudah melupakan perasaanmu pada temanmu dulu?”
“Entahlah, Pak. Namun jika Bapak dan Ibu berkenan aku dengan lelaki yang lain, akan aku terima semua itu. Aku yakin Ibu dan Bapak akan memilihkan yang terbaik untukku.”
“Ada seseorang yang telah melamarmu. Dia ada di luar. Bapak suruh dia menunggumu di luar.”
“Kenapa Bapak tidak menyuruhnya masuk? Melihat proses wisudaku? Aku yakin, dia juga akan senang dan bangga kepadaku.”
“Bapak ingin melihat, apakah dia benar-benar ingin mempersuntingmu? Apakah dia bisa bersabar di luar menunggumu?”
Dalam hatiku, masih ku harapkan Abdul  menjadi pendamping dalam hidupku. Tapi kembali ku teringat waktu yang aku lalui tanpanya, mungkinkah dia kembali kepadaku dan memintakanku kepada waliku?? Akankah semua itu jadi harapan semu? Yang tak berujung?
Ku langkahkan kakiku meskipun dengan perasaan enggan, namun ada sedikit rasa penasaran. Siapakah gerangan dirinya?
Apakah aku mengenalnya?
Apakah dia benar-benar ingin menjalin ikatan suci bersamaku meskipun kita tidak saling kenal?
“Apa salahnya ku coba berkenalan?” Gumamku dalam hati. Jantungku berdetak kencang melewati detik-detik saat ku jumpa dengan pria yang ingin mengenalku lebih jauh. Tubuhnya membelakangiku. Aku menerkanya. Tegap tubuhnya tak asing bagiku. Namun saat dia berbalik menghadapku, aku benar-benar tak percaya, jantungku seakan berhenti berdetak.
Tenyata bapak dan ibuku ingin mengenalkanku pada seseorang yang sangat aku harapkan hadir dalam hidupku. Dia yang ada didepanku, dia, Abdullah Andy Alamsyah yang selama ini aku harapkan. Dia datang padaku dengan restu dari bapakku dan dengan sebuah lamaran yang sudah bapak terima. Ku tatap Kak Abdul penuh seksama, apakah benar-benar dia? Aku masih tak percaya siapa yang ada di hadapanku ini. Seikat bunga mawar merah dia berikan kepadaku dan dia mengucapkan “Selamat ya, duhai gadisku tersayang”.
Bapak dan ibu hanya tersenyum kepadaku, mereka dapat merasakan kebahagiaan yang sangat besar yang sedang aku alami. Keduanya memelukku dengan penuh kasih sayang. Hanya tetesan demi tetesan yang aku suguhkan pada mereka. Tanpa bisa berkata apapun. Syukur aku panjatkan dalam isak tangisku. Kak Abdul masih tersenyum penuh kebahagiaan.


Tiga hari sebelum wisudaku, kak Abdul datang menemui bapakku, Menanyakan kabarku. Saat itu aku tidak ada dirumah. Untunglah bapak masih mengenali sosok yang ada didepannya. Sedikit basa-basi memperkenalkan dirinya ke bapak, Abdul meminta diriku menjadi pendamping hidupnya selamanya. Bapak dan ibu tahu, diriku masih menyimpan perasaan pada sosok pria yang sangat penting dalam hidupku. Bapak hanya memberi satu syarat jika memang dia sangat ingin meminang anaknya.
“Jika kau masih bisa bersabar menunggunya, maka datanglah ke wisudanya dan tunggulah dia di luar. Di sanalah akan ku pertemukan kau dengan dia. Bapak harap, kamu bisa memenuhinya.”
“Jika itu persyaratan dari Bapak, kan ku penuhi semua itu. Aku akan bersabar menunggu hingga akhir acara wisudanya.”
Kepada malam yang tak pernah enggan menemaniku
Kepada gelapnya yang hangat mendekapku
Kepada angin malam yang membasuh pilu mukaku
Kepada nyanyian malam yang temaniku terjaga
Burung malam bercanda di atas anyaman sarang
Desahan rumput dengan tarian manja
Air gemericik
Ikan pun berlari

Mereka seakan ingin membantuku
Mengungkapkan isi hatiku
Sungguh…
Aku ingin mencintaimu
Layaknya cinta Fatimah pada Ali
Layaknya cinta Ruqoyyah pada Ustman

Aku ingin cinta ini karena Allah
Aku tak ingin cinta yang lebih dari itu
Aku ingin cinta yang hakiki
Aku ingin cinta ini terjalin di atas hukum Islam
Aku ingin cinta di atas syari'at Islam
Menjadikan engkau sebagai pemimpin
Menjadikan engkau sebagai pembimbing
Dalam dunia cintaku
Hingga akhir akhiratku